Salah satu kegiatan rutin yang diadakan oleh SMK AL-AMIN Surabaya yang dimulai tahun ajaran 2015-2016 adalah kegiatan
Istighosah oleh para murid tiap akhir/awal bulan. Kegiatan tersebut biasa dipimpin langsung oleh Kepala Sekolah.
Apakah Istighosah itu?
Kata “istighotsah” استغاثة berasal dari “al-ghouts” الغوث yang berarti pertolongan. Dalam tata bahasa Arab kalimat yang mengikuti pola (wazan) “istaf’ala” استفعل atau “istif’al” menunjukkan arti pemintaan atau pemohonan. Maka istighotsah berarti meminta pertolongan.
Seperti kata ghufron غفران yang berarti ampunan ketika diikutkan pola
istif’al menjadi istighfar استغفار yang berarti memohon ampunan.
Jadi istighotsah berarti “thalabul ghouts” طلب الغوث atau meminta pertolongan. Para ulama membedakan antara istghotsah dengan “istianah” استعانة, meskipun secara kebahasaan
makna keduanya kurang lebih sama. Karena isti’anah juga pola istif’al
dari kata “al-aun” العون yang berarti “thalabul aun” طلب العون yang juga
berarti meminta pertolongan.
Istighotsah adalah meminta pertolongan ketika keadaan sukar dan sulit. Sedangkan Isti’anah maknanya meminta pertolongan dengan arti yang lebih luas dan umum.
Baik Istighotsah maupun Isti’anah terdapat di dalam nushushusy syari’ah atau teks-teks Al-Qur’an atau hadits Nabi Muhammad SAW. Dalam surat Al-Anfal ayat 9 disebutkan:
إِذْ تَسْتَغِيثُونَ رَبَّكُمْ فَاسْتَجَابَ لَكُمْ
“(Ingatlah wahai Muhammad), ketika kamu memohon pertolongan kepada Tuhanmu lalu Dia mengabulkan permohonanmu.” (QS Al-Anfal:9)
Ayat ini menjelaskan peristiwa ketika Nabi Muhammad SAW memohon bantuan dari Allah SWT, saat itu beliau berada di tengah berkecamuknya perang badar dimana kekuatan musuh tiga kali lipat lebih besar dari pasukan Islam. Kemudian Allah mengabulkan permohonan Nabi dengan memberi bantuan pasukan tambahan berupa seribu pasukan malaikat.
Dalam surat Al-Ahqaf ayat 17 juga disebutkan;
وَهُمَا يَسْتَغِيثَانِ اللَّهَ
“Kedua orang tua memohon pertolongan kepada Allah.” (QS Al-Ahqaf:17)
Yang dalam hal ini adalah memohon pertolongan Allah atas kedurhakaan sang anak dan keengganannya meyakini hari kebangkitan, dan tidak ada cara lain yang dapat ditempuh oleh keduanya untuk menyadarkan sang anak kecuali memohon pertolongan dari Yang Maha Kuasa atas segala sesuatu.
Dari kedua cuplikan ayat ini barangkali dapat disimpulkan bahwa istighotsah adalah memohon pertolongan dari Allah SWT untuk terwujudnya sebuah “keajaiban” atau sesuatu yang paling tidak dianggap tidak mudah untuk diwujudkan.
Istighotsah sebenamya sama dengan berdoa akan tetapi bila disebutkan kata istighotsah konotasinya lebih dari sekedar berdoa, karena yang dimohon dalam istighotsah adalah bukan hal yang biasa biasa saja. Oleh karena itu, istighotsah sering dilakukan secara kolektif dan biasanya dimulai dengan wirid-wirid tertentu, terutama istighfar, sehingga Allah SWT berkenan mengabulkan permohonan itu.
Istighotsah juga disebutkan dalam hadits Nabi,di antaranya :
إنَّ الشَّمْسَ تَدْنُوْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يَبْلُغَ الْعَرَقُ نِصْفَ الْأُذُنِ, فَبَيْنَمَا هُمْ كَذَلِكَ اسْتَغَاثُوْا بِآدَمَ ثُمَّ بِمُوْسَى ثُمَّ بِمُحَمَّدٍ
Matahari akan mendekat ke kepala
manusia di hari kiamat, sehingga keringat sebagian orang keluar hingga
mencapai separuh telinganya, ketika mereka berada pada kondisi seperti itu mereka beristighotsah (meminta pertolongan) kepada Nabi Adam, kemudian kepada Nabi Musa kemudian kepada Nabi Muhammad. (H.R.al Bukhari).
Hadits ini juga merupakan dalil dibolehkannya meminta pertolongan
kepada selain Allah dengan keyakinan bahwa seorang nabi atau wali
adalah sebab. Terbukti ketika manusia di padang mahsyar terkena terik
panasnya sinar Matahari mereka meminta tolong kepada para Nabi. Kenapa
mereka tidak berdoa kepada Allah saja dan tidak perlu mendatangi para nabi tersebut? Seandainya
perbuatan ini adalah syirik niscaya mereka tidak melakukan hal itu dan
jelas tidak ada dalam ajaran Islam suatu perbuatan yang dianggap
syirik.
Sedangkan isti’anah terdapat di dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
وَاسْتَعِينُواْ بِالصَّبْرِ وَالصَّلاَةِ
“Mintalah pertolongan dengan sabar dan shalat.” (QS Al-Baqarah: 45)
KH A. Nuril HudaKetua PP Lembaga Dakwah Nahdlatul Ulama (LDNU)
Istighatsah adalah
memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya, untuk sebagian
kelompok muslimin hal ini langsung di vonis syirik, namun vonis mereka
itu hanyalah karena kedangkalan pemahamannya terhadap syariah islam,
pada hakekatnya memanggil nama seseorang untuk meminta pertolongannya
adalah hal yg diperbolehkan selama ia seorang Muslim, Mukmin, Shalih dan
diyakini mempunyai manzilah di sisi Allah swt, tak pula terikat ia
masih hidup atau telah wafat, karena bila seseorang mengatakan ada
perbedaan dalam kehidupan dan kematian atas manfaat dan mudharrat maka
justru dirisaukan ia dalam kemusyrikan yg nyata, karena seluruh manfaat
dan mudharrat berasal dari Allah swt, maka kehidupan dan kematian tak
bisa membuat batas dari manfaat dan mudharrat kecuali dengan izin Allah
swt, ketika seseorang berkata bahwa orang mati tak bisa memberi manfaat,
dan orang hidup bisa memberi manfaat, maka ia dirisaukan telah jatuh
dalam kekufuran karena menganggap kehidupan adalah sumber manfaat dan
kematian adalah mustahilnya manfaat, padahal manfaat dan mudharrat itu
dari Allah, dan kekuasaan Allah tidak bisa dibatasi dengan kehidupan
atau kematian.
Sama saja ketika seorang berkata bahwa hanya
dokter lah yg bisa menyembuhkan dan tak mungkin kesembuhan datang dari
selain dokter, maka ia telah membatasi Kodrat Allah swt untuk memberikan
kesembuhan, yg bisa saja lewat dokter, namun tak mustahil dari petani,
atau bahkan sembuh dengan sendirinya.
Terkadang kita tak
menyadari bahwa kita lebih banyak mengambil manfaat dalam kehidupan ini
dari mereka yg telah mati daripada yg masih hidup, sungguh peradaban
manusia, tuntunan ibadah, tuntunan kehidupan, modernisasi dlsb, kesemua
para pelopornya telah wafat, dan kita masih terus mengambil manfaat dari
mereka, muslim dan non muslim, seperti teori Einstein dan teori2
lainnya, kita masih mengambil manfaat dari yg mati hingga kini, dari
ilmu mereka, dari kekuatan mereka, dari jabatan mereka, dari perjuangan
mereka, Cuma bedanya kalau mereka ini kita ambil manfaatnya berupa
ilmunya, namun para shalihin, para wali dan muqarrabien kita mengambil
manfaat dari imannya dan amal shalihnya, dan ketaatannya kepada Allah.
Rasul
saw memperbolehkan Istighatsah, sebagaimana hadits beliau saw :
“Sungguh matahari mendekat dihari kiamat hingga keringat sampai setengah
telinga, dan sementara mereka dalam keadaan itu mereka ber istighatsah
(memanggil nama untuk minta tolong) kepada Adam, lalu mereka
beristighatsah kepada Musa, Isa, dan kesemuanya tak mampu berbuat apa
apa, lalu mereka beristighatsah kepada Muhammad saw” (Shahih Bukhari
hadits no.1405), juga banyak terdapat hadits serupa pada Shahih Muslim
hadits no.194, shahih Bukhari hadits no.3162, 3182, 4435, dan banyak
lagi hadist2 shahih yg rasul saw menunjukkan ummat manusia ber
istighatsah pada para nabi dan rasul, bahkan Riwayat shahih Bukhari
dijelaskan bahwa mereka berkata pada Adam, Wahai Adam, sungguh engkau
adalah ayah dari semua manusai.. dst.. dst...dan Adam as berkata :
“Diriku..diriku.., pergilah pada selainku.., hingga akhirnya mereka ber
Istighatsah memanggil manggil Muhammad saw, dan Nabi saw sendiri yg
menceritakan ini, dan menunjukkan beliau tak mengharamkan Istighatsah.
Maka
hadits ini jelas jelas merupakan rujukan bagi istighatsah, bahwa Rasul
saw menceritakan orang orang ber istighatsah kepada manusia, dan rasul
saw tak mengatakannya syirik, namun jelaslah Istighatsah di hari kiamat
ternyata hanya untuk Sayyidina Muhammad saw.
Demikian pula
diriwayatkan bahwa dihadapan Ibn Abbas ra ada seorang yg keram kakinya,
lalu berkata Ibn Abbas ra : “Sebut nama orang yg paling kau cintai..!”,
maka berkata orang itu dg suara keras.. : “Muhammad..!”, maka dalam
sekejap hilanglah sakit keramnya (diriwayatkan oleh Imam Hakim, Ibn
Sunniy, dan diriwayatkan oleh Imam Tabrani dg sanad hasan) dan riwayat
ini pun diriwayatkan oleh Imam Nawawi pada Al Adzkar.
Jelaslah
sudah bahwa riwayat ini justru bukan mengatakan musyrik pada orang yg
memanggil nama seseorang saat dalam keadaan tersulitkan, justru Ibn
Abbas ra yg mengajari hal ini.
Kita bisa melihat kejadian Tsunami
di aceh beberapa tahun yg silam, bagaimana air laut yg setinggi 30
meter dengan kecepatan 300km dan kekuatannya ratusan juta ton, mereka
tak menyentuh masjid tua dan makam makam shalihin, hingga mereka yg lari
ke makam shalihin selamat, inilah bukti bahwa Istighatsah dikehendaki
oleh Allah swt, karena kalau tidak lalu mengapa Allah jadikan di makam2
shalihin itu terdapat benteng yg tak terlihat membentengi air bah itu,
yg itu sebagai isyarat ilahi bahwa demikianlah Allah memuliakan tubuh yg
taat pada Nya swt, tubuh tubuh tak bernyawa itu Allah jadikan benteng
untuk mereka yg hidup.., tubuh yg tak bernyawa itu Allah jadikan sumber
Rahmat dan perlindungan Nya swt kepada mereka mereka yg berlindung dan
lari ke makam mereka.
Kesimpulannya : mereka yg lari berlindung
pada hamba hamba Allah yg shalih mereka selamat, mereka yg lari ke
masjid masjid tua yg bekas tempat sujudnya orang orang shalih maka
mereka selamat, mereka yg lari dengan mobilnya tidak selamat, mereka yg
lari mencari tim SAR tidak selamat..
Pertanyaannya adalah :
kenapa Allah jadikan makam sebagai perantara perlindungan Nya swt?,
kenapa bukan orang yg hidup?, kenapa bukan gunung?, kenapa bukan
perumahan?.
Jawabannya bahwa Allah mengajari penduduk bumi ini beristighatsah pada shalihin.
Walillahittaufiq
Demikian saudaraku yg kumuliakan, semoga dalam kebahagiaan selalu, semoga sukses dg segala cita cita,
Wallahu a'lam
Habib Munzir Al Musawa (pengasuh Majelis rasulullah)
http://arsip.majelisrasulullah.org/?option=com_simpleboard&Itemid=5&func=view&catid=7&id=22458
Posting Komentar